A. Pengertian Konseling Individual
Konseling individual adalah layanan
bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik mendapatkan layanan
langsung secara tatap muka dengan guru pembimbing/konselor dalam rangka
pembahasan dan pengentasan permasalahannya.[1] Konseling individual merupakan
pertemuan konselor dan klien secara individual yang bernuansa hubungan
konseling yang akrab dan hangat sehingga konselor bisa memberikan bantuan untuk
pengembangan pribadi klien serta dapat mengatasi masalah-masalah yang
dihadapinya. Layanan konseling individual bertujuan agar siswa mendapat layanan
langsung secara tatap muka dengan guru pembimbing atau konselor atau guru kelas
di sekolah dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahannya. Pelayanan
konseling individual bertujuan menjadikan klien dapat berdiri sendiri dan tidak
tergantung pada konselor.
B. Asas Konseling Individual
Asas-asas
konseling sangat diperlukan dalam menyelenggarakan pelayanan konseling, dan
asas-asas juga dianggap sebagai suatu rambu-rambu dalam pelaksanaan konseling
yang harus diketahui dan diterapkan oleh konselor dan klien agar konseling
dapat berjalan dengan baik. Ada beberapa asas-asas di dalam konseling
diantaranya sebagai berikut:[2]
1) Kerahasiaan
Hubungan interpersonal yang amat intens sanggup membongkar
berbagai isi pribadi yang paling dalam sekalipun, terutama pada sisi klien.
Segenap rahasia pribadi klien yang terbongkar menjadi tanggung jawab penuh
konselor untuk melindunginya. Keyakinan klien akan adanya perlindungan yang
demikian itu menjadi jaminan untuk suksesnya pelayanan.
2) Kesukarelaan
Dalam pelayanan konseling, seorang klien secara suka rela
tanpa ragu meminta bantuan kepada konselor.
3) Keterbukaan
Keterbukaan artinya adanya perilaku yang terus terang, jujur
tanpa ada keraguan untuk membuka diri baik pihak klien maupun konselor.
4) Kekinian
Masalah klien yang langsung dibahas dalam konseling adalah
masalah-masalah yang sedang dirasakan/dialami sekarang, bukan masalah lampau,
dan juga bukan masalah yang mungkin akan dialami di masa mendatang.
5) Kemandirian
Pelayanan konseling bertujuan menjadikan klien memiliki
kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan masalahnya sendiri, sehingga ia dapat
mandiri, tidak tergantung pada orang lain ataupun konselor.
6) Kegiatan
Kegiatan adalah seperangkat aktivitas yang harus dilakukan
klien untuk mencapai tujuan konseling.
7) Kedinamisan
Usaha pelayanan konseling menghendaki terjadinya perubahan
pada diri klien, yaitu perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Perubahan
perilaku itu bersifat maju (progressive) bukan perubahan kearah kemunduran
dengan demikian klien akan mengalami perubahan ke arah perkembangan pribadi
yang dihendaki.
8) Keterpaduan
Layanan konseling berusaha memadukan aspek kepribadian
klien, supaya mampu melakukan perubahan ke arah lebih maju. Keterpaduan antara
minat, bakat, intelegensi, emosi, dan aspek kepribadian lainnya akan dapat
melahirkan suatu kekuatan (potensi) pada diri klien.
9) Kenormatifan
Dalam layanan konseling individu adalah normatif, sebab
tidak ada satupun yang boleh terlepas dari kaidah-kaidah norma yang berlaku,
baik norma agama, adat, hukum, ilmu, dan kebiasaan harus serasi dengan
normanorma yang berlaku.
10) Keahlian
Konselor haruslah seorang yang ahli dan professional dalam
pengembangan konseling individu untuk kepentingan klien. Keahlian konselor itu
diterapkan dalam suasana yang sukarela, terbuka dan aktif agar klien mampu
mengambil keputusan sendiri dalam kondisi kenormatifan yang tinggi.
11) Alih Tangan Kasus
Tidak semua masalah yang dialami konseli menjadi wewenang
konselor. Artinya konselor memiliki keterbatasan kewenangan, bila klien
mengalami masalah emosi yang berat seperti stress berat, sakit jiwa, maka kasus
ini di luar kewenangan konselor dan harus dialih tangankan kepada pihak lain,
misalnya klien mengalami gangguan kepribadian berat maka menjadi wewenang
psikiater, gangguan fisik (medis) maka menjadi wewenang dokter, dan sebagainya.
12) Tut Wuri Handayani
Asas ini memberikan makna bahwa layanan konseling merupakan
bentuk pengaruh konselor kepada klien dalam arti positif, dan konselor juga
mempengaruhi klien untuk dapat memahami dirinya, lingkungannya, serta
menggunakan lingkungan sebagai aspek yang dapat berperan aktif dalam upaya
mencapai tingkat perkembangan optimal.
C. Tahapan Konseling Individual
Menurut Branner (1979) proses konseling adalah
peristiwa yang telah berlangsung dan memberi makna bagi peserta konseling
tersebut (konselor dn klien).[3] Secara umum proses konseling individu dibagi
atas tiga tahapan :
1. Tahap awal
konseling
Adapun proses tahap awal sebagai berikut :
a. Membangun
hubungan konseling yang melibatkan klien
Hubungan konseling bermakna ialah jika klien terlibat
berdiskusi dengan konselor. hubungan tersebut dinamakan a working
realitionship, yakni hubungan yang berfungsi, bermakna, dan berguna.
b. Memperjelas dan
mendefinisikan masalah
Jika hubungan konseling telah terjalin dengan baik dimana
klien telah melibatkan diri, berarti kerjasama antara konselor dengan klien
akan dapat mengangkat isu, kepedulian, atau masalah yang ada pada klien.
c. Membuat
penafsiran dan penjajakan
Konselor berusaha menjajaki atau menaksir kemungkinan
mengembangkan isu atau masalah, dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan,
yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan dia proses menentukan
berbagai alternative yang sesuai bagi antisipasi masalah.
d. Menegosiasikan
kontrak
Kontrak artinya perjanjian antara konselor dengan klien. Hal
itu berisi : (1) kontrak waktu, artinya berapa lama diinginkan waktu pertemuan
oleh klien dan apakah konselor tidak keberatan. (2) Kontrak tugas, artinya
konselor apa tugasnya, dank lien apa pula. (3) Kontrak kerjasama dalam proses
konseling, kontrak menggariskan kegiatan konseling, termasuk kegiatan klien dan
konselor.
2. Tahap
pertengahan (tahap kerja)
Berangkat dari definisi masalah klien yang disepakati pada
tahap awal kegiatan selanjutnya adalah memfokuskan pada : (1) penjelajahan
masalah klien, (2) bantuan apa yang akan diberikan berdasarkan penilaian
kembali apa-apa yang telah dijelajah tentang masalah klien. Menilai kembali
msalah klien akan membantu klien memperoleh perspektif baru, alternative baru,
yang mungkin berbeda dari sebelumnya, dalam rangka mengambil keputusan dan
tindakan. Dengan adanya perspektif baru, berarti ada dinamika pada diri klien
menuju perubahan. Tanpa perspektif maka klien sulit untuk berubah. Adapun
tujuan-tujuan dari tahap pertengahan ini yaitu :
a. Menjelajahi
dan mengekplorasi masalah, isu, dan kepedulian klien lebih jauh.
b. Menjaga agar
hubungan konseling selalu terpelihara
c. Proses
konseling agar berjalan sesuai kontrak
3. Tahap akhir
konseling (tahap tindakan)
Pada tahap akhir konseling ditandai beberapa hal yaitu :
a. Menurunnya
kecemasan klien. Hal ini diketahui setelah konselor menanyakan keadaan kecemasannya.
b. Adanya
perubahan perilaku klien kearah yang lebih poitif, sehat, dan dinamis.
c. Adanya rencana
hidup masa yang akan datang dengan rogram yang jelas.
d. Terjadinya
perubahan sikap positif, yaitu mulai dapat megoreksi diri dan meniadakan sikap
yang suka menyalahkan dunia luar, seperti orangtua, guru, teman, keadaan yang
tidak menguntungkan dan sebagainya. Jadi
klien sudah berpikir realistic dan percaya
diri.
D. Batasan Masalah dan Penyelesaian Masalah Konseli
Pelayanan konseling oleh konselor
hendaklah sampai pada pengungkapan sumber masalah yang dialami klien. Penemuan
sumber masalah tersebut akan menjadi dasar bagi konselor untuk menentukan
alternatif yang tepat bagi upaya pengentasan masalah klien. Tanpa kegiatan
penjelajahan masalah klien, yang akhirnya sampai pada bagi konselor
ditemukannya sumber masalah, adalah sukar bagi konselor mendiskusikan bersama
klien dalam menemukan solusi masalah yang paling tepat. Oleh karena itu upaya
untuk nenemukan sumber masalah merupakan hal yang sangat urgen dalam pelayanan
konseling.
Apabila ditelusuri secara seksama,
pada akhirnya konselor akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa sumber timbulnya
masalah pada diri klien ada dua, yaitu yang bersumber dari dalam dirinya sediri
dan bersumber dari luar dirinya. Sumber masalah yang berasal dari diri angtara
lain terdiri dari gizi, sikap dan perlakuan orang lain, pendidikan, budaya dan
kondisi-kondisi insidentil (tidak terduga). Adapun sumber masalah yang berasal
dari dalam diri klien sendiri adalah meliputi bagaimana klien enggan berubah,
mempersepsi suatu peristiwa yang menimpa dirinya, memberi makna suatu kejadian
di luar realita sebenarnya, keyakinan-keyakinan dalam diri yang sudah lama
tumbuh, kebiasaan-kebiasaan yang sukar diubah. perilaku yang secara sadar atau
tidak sadar, tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial klien, terganggunya
rasa aman klien, kompetensi klien yang rendah, aspirasi yang tidak tersalurkan
dengan baik. semangat yang lemah dan kehilangan kesempatan. Berikut ini dibahas
sumber-sumber pemicu masalah pada diri klien.
1) Sumber Masalah dari Luar Diri
a. Perlakuan dari orang lain
Banyak masalah dialami oleh klien
adalah akibat perlakuan oleh orang lain, khususnya orang terdekat (significant
person). Sejumlah klien mengalami kekerasan di dalam rumah tangga, misalnya
kekerasan itu dilakukan oleh oleh orang tua, saudara maupun anggota keluarga
lainnya. Kekerasan dimaksud bukan hanya kekerasan fisik, seperti tamparan,
pukulan, dan sebagainya, namun juga kekerasan psikis, seperti makian,
penghinaan, pengabaian, pengucilan dan lain-lain.
b. Pendidikan
Pendidikan maksudnya adalah upaya
memperoleh pengalaman belajar oleh klien. Tinggi rendahnya pendidikan yang
ditempuh klien banyak mempengaruhi sikap dan keterbukaannya dalam menerima
saran dan masukan dari orang lain. Klien yang kurang memperoleh pendidikan
secara memadai baik informal, maupun non formal seringkali mengalami kesulitan
dalam penyesuaian diri dengan tuntutan situasi baru.
c. Budaya
Di dalam budaya masyarakat
tertentu ditanamkan pada anak-anak mereka keyakinan-keyakinan khusus, apakah
yang bersumber dari kepercayaan adat, kebiasaan masyarakat, atau juga dari
agama berupa nasehat atau pesan-pesan "nenek". Pesan-pesan tersebut
mereka yakini betul sebagai seuatu yang benar dan harus dipatuhi. Apabila
dilanggar nantinya akan berdampak negatif pada dirinya. Misalnya di sejumlah
kampung di Minangkabau ada keyakinan apabila seorang gadis sering duduk di
depan pintu masuk rumah, akan sukar dapat jodoh. Jika konselor melakukan
konseling dengan si gadis tersebut yang tidak dapat jodoh juga sementara
umurnya sudah lanjut, maka klien tersebut akan menyesali nasibnya, karena
selama ini dia sering duduk-duduk di depan pintu masuk rumah.
d. Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman dan perlakuan dari
orang lain dapat dialami oleh klien pada masa lalu, misalnya pada waktu klien
masih kanak-kanak. Misalnya tindakan pengabaian, perlakuan yang buruk,
penghinaan dan pengalaman traumatis yang akan berpengaruh besar pada
pembentukan kepribadian klien. Akibat selanjutnya membuat klien sulit
menyesuaikan diri, bertingkah laku salah suai (maladjustment), mengalami
kelainan kepribadian, dan sebagainya.
2) Sumber Masalah dari dalam Diri
a. Keengganan klien untuk berubah
Banyak klien yang datang kepada
konselor hanya semata menyampaikan keluhannya bahwa dia tidak bisa tidur, tidak
konsentrasi, tidak bisa belajar, tidak dapat melakukan ini dan itu dan
sejenisnya.
b. Persepsi tentang diri sendiri dan lingkungan
Individu yang mengalami masalah
banyak disebabkan oleh persepsinya yang keliru tentang diri sendiri maupun
lingkungannya Seringkali dia menganggap dirinya lebih rendah atau malah
sebaliknya mengganggap lebih tinggi, lebih hebat, lebih pintar, lebih gagah,
lebih kaya dan sebagainya.
c. Memberi makna suatu kejadian diluar realita
sebenarnya
Siapapun dapat mengalami kejadian
di dalam kehidupan ini. Kejadian-kejadian tersebut dapat berupa keberuntungan
atau juga kemalangan. Mengalami kejadian yang memberi keuntungan biasanya
dimaknai sebagai rezeki, dan seringkali tidak dipermasalahkan dan lebih banyak
Di syukuri. Persoalan muncul adalah apabila kejadian itu menimbulkan kerugian.
Pada saat mengalami kejadian tersebut barulah klien memberi makna yang
bermacam- macam, khususnya pemaknaan yang menyesali, merasa Tuhan tidak adil,
menyalahkan orang lain, dan sebagainya. Pemaknaan yang negatif ini akan melahirkan
perilaku-perilaku yang menyimpang. Oleh karena itu konselor perlu sampai pada
pengungkapan pemaknaan yang tidak tepat tersebut untuk berusaha mengubahnya
dengan pemaknaan positif, sehingga menghasilkan tingkah laku yang positif dan
produktif pula.
d. Kebiasaan yang sukar diubah
Klien di dalam lingkungan baru
akan membawa kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari mana mereka berasal.
Kebiasaan makan, kebiasaan berbicara, kebiasaan bersih dan kebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari misalnya yang tidak sesuai menjadi sumber masalah klien.
Kebiasaan tersebut tidak dapat di terima di lingkungan baru dimana klien
berada, akibatnya klien tidak disenangi oleh tetangga, teman, maupun guru
misalnya.
e. Rasa Aman yang Terganggu
Rasa aman adalah adalah kebutuhan
tingkat kedua sctelah kebutuhan fisik. Mengingat rasa aman ini adalah
kebutuhan, maka klien juga berusaha memenuhi dengan cara membentengi diri dan
menangtisipasi agar keadaan aman di masa depan dapat dinikmati.
[1] Endang Switri, Bimbingan
Konseling Anak Usia Dini, (Jawa Timur: Qiara Media, 2019), 115.
[2] Hartono dan Boy Soedarmadji, Psikologi
Konseling, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), 40-45.
[3] Willis S. Sofyan, Konseling Individual Teori dan Praktek
(Bandung : CV Alfabeta, 2007) hal 50